Pada suatu hari, seorang ayah dan seorang anak laki-lakinya yang sudah menjelang
dewasa tampak sedang bersama-sama memberi makanan pada ayam-ayam peliharaan
mereka. Keluarga ini memang memelihara banyak ayam dari berbagai jenis, yang
terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu ayam kampung dan ayam negeri.
Di sela-sela kesibukan itu, tiba-tiba sang ayah bertanya pada anaknya :
“Nak, kalau kau harus memilih, yang mana kau lebih suka, jadi ayam negeri atau
jadi ayam kampung?” Sang anak tertegun mendengar pertanyaan tersebut. Ia tidak
mampu menjawab.
“Apa maksud ayah?” katanya sejurus kemudian.
“Ini hanya sebuah permisalan. Bila kelak engkau menjadi lebih dewasa
nanti, ada dua cara hidup yang bisa engkau pilih, yaitu cara hidup seperti ayam
negeri, atau sebagai ayam kampung”, jelas ayahnya.
“Ah, aku tahu ! Tentu
aku memilih hidup seperti ayam kampung. Ia selalu bebas pergi ke mana saja ia
mau..”, jawab sang anak dengan antusias.
Si ayah yang bijaksana ini
tersenyum sambil membenarkan. “Selain kebebasan, masih banyak hal-hal lain yang
bisa kita ambil dari kehidupan ayam kampung, dibanding dengan kehidupan ayam
negeri”, lanjut ayahnya. Lalu ia mulai berbicara panjang lebar untuk menjelaskan
falsafah hidup ayam kampung kepada anak kesayangannyatersebut.
Ayam
kampung berbeda terhadap ayam negeri dalam banyak hal. Perbedaan pertama yang
telah disebut di atas adalah hal kebebasan. Ayam kampung selalu hidup bebas di
alam lepas. Pergi ke
sana ke mari mencari makan, bermain, dan bercengkerama.
Sementara itu, ayam negeri selalu hidup di kandang yang bagus.
Pada
malam hari, ayam kampung tidur seadanya, di mana saja. Tidak perlu di kandang,
bahkan acapkali hanya di atas jerami atau pada seutas ranting. Sedangkan ayam
negeri siang malam ada di kandang yang nyaman, termasuk waktu tidur. Kandangnya
itu, benar-benar dibuat nyaman, bersih karena setiap hari dibersihkan. Kesehatan
lingkungannya di jaga, bahkan temperatur ruangan harus selalu diatur dengan
nyala lampu agar tetap hangat.
Ayam kampung mencari makan sendiri,
berjuang menyibak semak-semak, mengorek sampah, merambah selokan, berpanas dan
berhujan menyantap apa saja yang bisa disantapnya. Tidak peduli kotoran dan
tidak hirau pelimbahan, demi menyambung hidup yang keras dari hari ke hari.
Ayam negeri di lain pihak, disediakan makanan oleh majikannya dengan
makanan khusus. Penuh gizi dan bebas
hama. Jadwal teratur, dan tidak boleh
menyentuh makanan sembarangan. Sekali-sekali pada waktu- waktu tertentu, ayam
negeri juga diberi suntikan agar lebih sehat dan produktif.
Melihat
kenyataan itu, tentu terpikir oleh kita bahwa sudah sepantasnya kalau ayam
negeri memiliki kelebihan dalam segala hal dibanding ayam kampung. Tapi apa
nyatanya? Ayam negeri sangat sensitif.
Ada keadaan yang sedikit saja
menyimpang dari seharusnya, sakitlah ia. Satu sakit, yang lain pun sakit, dan
akhirnya semua mati. Sebaliknya,.ayam kampung tidak pernah sakit, tubuhnya sehat
dan kuat, berkat gemblengan alam. Itu yang membuatnya tidak pernah sakit. Ia pun
berjuang setiap hari di alam terbuka, melawan kekerasan alam untuk mencari
nafkahnya. Ayam kampung juga memiliki rasa pengorbanan, tidak ragu untuk
menyibak semak, mengorek sampah dan merambah selokan, berpanas dan berhujan
sambil membimbing anak- anaknya mencari makan, agar mereka tegar seperti
induknya.
Sang ayah yang bijaksana tadi berkata lagi : “Lihat, meski
bergelimang berbagai kenyamanan, ayam negeri itu sesungguhnya sudah kehilangan
identitas sebagai makhluk yang bebas. Statusnya sudah diubah oleh mahluk lain
yang bernama manusia, tidak lagi sebagai mahluk hidup, melainkan sebagai mesin.
Mesin yang menghasilkan telur dan daging dalam jumlah besar bagi keperluan
manusia..”
Moral apa yang bisa kita serap dari fenomena ayam kampung dan
ayam negeri ini?
Manusia bisa berkaca dari cermin kehidupan ayam negeri
dan ayam kampung. Dalam bekerja mencari nafkah serta meniti karir, kebanyakan
generasi muda menghendaki kehidupan nyaman tidak ubahnya bagai kehidupan ayam
negeri. Mendambakan hidup nikmat di mana segala kebutuhannya dipenuhi, jauh dari
beratnya perjuangan hidup, jauh dari gemblengan dan tantangan alam, bahkan kalau
perlu tidak usah tahu dengan yang namanya cucuran keringat serta beratnya
banting tulang.
Sejak selesai sekolah, rata-rata pemuda sudah terpola
untuk bias diterima bekerja di sebuah perusahaan besar, menerima gaji besar,
mendapat sejumlah jaminan dan fasilitas-fasilitas tertentu, mampu membeli rumah
dan mobil sendiri, serta berkantor di salah satu gedung megah dan mewah di
kawasan bisnis bergengsi. Sekolah dianggap sebagai sarana yang memberikannya
standar pengakuan sebagai tiket untuk mendapatkan semua itu.
Di
sana
terselip sebuah pengharapan bahwa, semakin tinggi pendidikan yang ditempuh,
semakin tinggi pula jabatan yang akan ia peroleh dari perusahaan, dan mereka
mengira, semakin santai pula pekerjaan yang akan diberikan kepadanya. Hidup
tenang dengan serba berkecukupan bahkan berkelimpahan.
Tak perlu
disangsikan lagi bahwa pedoman hidup yang dianut generasi muda ini, sama dan
sebangun dengan liku-liku kehidupan ayam negeri. Mereka menginginkan kenyamanan
dan berbagai fasilitas yang diberikan oleh majikan, sama seperti ayam negeri
menerima kenyamanan dan berbagai fasilitas dari majikannya.
Mereka
menginginkan kesehatan dan jadwal hidup yang serba teratur, sama seperti ayam
negeri menerima kesemua itu dari majikannya. Mereka memerlukan perhatian penuh
tentang kesejahteraan diri dan keluarga, memerlukan tuntunan dan pimpinan untuk
memperlancar tugas dan kewajibannya, sama seperti seperti yang diberikan majikan
kepada ayam-ayam negeri itu.
Namun mereka tidak menyadari bahwa pada
saat yang sama, mereka telah kehilangan kebebasan dirinya, sebagai hak azasi
manusia yang paling hakiki. Mereka tidak bisa lagi pergi dan terbang ke
sana
ke mari seperti seekor elang di langit lepas. Sama seperti yang dialami oleh
ayam negeri. Lebih-lebih lagi, mereka telah kehilangan identitas diri sebagai
mahluk hidup, karena status dirinya, disadari atau tidak, telah dirubah menjadi
mesin yang sangat produktif demi kepentingan majikannya. Juga sama seperti ayam
negeri.
Falsafah hidup seperti ayam negeri, benar-benar merupakan suatu
hal yang menyesatkan, terutama bagi kalangan muda. Orang akan terpedaya dengan
perasaan nikmat dalam kehidupan yang terkungkung di antara sisi-sisi tembok
beton kantor atau rumahnya yang mewah. Padahal di luar, masih teramat banyak
orang yang tidak cukup beruntung untuk mendapatkan pekerjaan, hidup susah di
rumah-rumah kumuh dan pengap.
Falsafah ayam negeri hanya mengajarkan
manusia untuk memuja kenyamanan diri semata. Meski tidak ada yang salah untuk
memperoleh kesejahteraan, kesenangan dan kemewahan bagi diri dan keluarga, namun
pola hidup demikian cenderung membuat orang menjadi figur yang selfish dan
egois, selalu mementingkan diri sendiri. Tidak ada lagi rasa prihatin dan empati
kepada sesama. Apalagi keinginan berkorban untuk orang lain.
Sindrom
kenikmatan juga akan menyebabkan kaum muda kehilangan semangat dan daya juang,
sehingga tidak akan mau lagi ikut memikirkan bagaimana berpartisipasi untuk
memajukan negara dan bangsa, mengentaskan kemiskinan rakyat jelata dan berbagai
aspek social lainnya yang amat dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Di
ujung rangkaian dari berbagai kesenangan yang memabukkan itu, akhirnya akan
muncullah masalah yang paling berat, yaitu kenyataan bahwa generasi muda akan
menjelma menjadi generasi yang ringkih, getas dan sensitif. Generasi yang mudah
patah saat dihadapkan pada situasi krisis, sebagai akibat terlalu dimanjakan
oleh kenikmatan. Lagi-lagi sama seperti ayam negeri yang sensitif terhadap
berbagai penyakit.
Jumat, 12 Juli 2013 |
0
komentar
0 komentar:
Posting Komentar